Cinta Burung-burung Manyar

Burung-burung Manyar (Djambatan, 1981).

Saya membaca novel karya Yusuf Biliarta Mangunwijaya ini tahun 1994, ketika kelas 2 SMP lewat perpustakaan kecil di belakang gereja. Sejak itu, selain serial Senopati Pamungkas (Arswendo Atmowiloto, GPU, 1879), novel inilah yang terpatri di memori saya, tidak peduli berapa banyak novel lain yang dibaca bertahun-tahun sesudah itu.

Kemudian, perjumpaan saya dengan Burung-burung Manyar terjadi lagi di Yogyakarta, sekitar tahun 2001. Saya membeli novelnya hasil dari resensi buku yang dimuat di Kompas. Novel ini ternyata masih membius. Dan saya mulai mendalami psikologis dan karakterisasi tokoh-tokohnya, bukan hanya kisah cinta segitiga antara Teto, Atik dan Jana.

Rupanya, akhir tahun 2007 ini, saya bertemu lagi dengan mereka. Dalam bentuknya yang lain, yang hidup. Dunia ini memang kecil, rupanya. Saya mengenal mereka dengan cara yang tidak sama seperti mereka mengenal saya.

———-

Mari kita lihat. Ini sinopsisnya, yang saya ambil dari sebuah artikel.

Setadewa (Teto): Anak Kolong, sangat membenci Jepang karena seorang serdadu Jepang telah menjadikan maminya sebagai gundik. Sangat mencintai Atik dan keras hati. Ia berpikir semua yang menentang Belanda adalah pengkhianat.

Larasati (Atik), gadis yang periang, berjiwa nasionalis, menghormati dan menyayangi kedua orangtuanya, teguh pendirian, penyayang, sangat mencintai Teto.

Bu Antana (Ibu Atik) seorang Ibu yang sangat mencintai keluarganya, keibuan.

Mayoor Verbruggen, Mayoor Belanda yang memudahkan Teto menjadi tentara NICA, pengagum berat Marice, ibu Teto.

Janakatamsi, suami Larasati. Orang yang tenang, sabar, pandai, dan berwawasan luas.

Sinopsis

Setadewa dan Larasati berkawan karib sejak kecil. Setadewa lahir sebagai anak Kolong, anak serdadu yang tinggal di tangsi. Ayahnya, Brajabasuki, adalah seorang kapten pada KNIL, tentara Hindia Belanda. Ibunya bernama Marice, seorang perempuan keturunan.

Kapten Brajabasuki hilang tak berjejak ketika kependudukan Jepang. Kemudian Marice menjadi gundik Jepang, meski ia tak menginginkannya. Ia dipaksa keadaan: kalau ia tak mau menjadi gundik, suaminya, ayah Teto, akan mati.

Setelah dewasa, Teto memilih menjadi tentara Belanda. Ia menemui Mayoor Verbruggen dengan membawa serta surat ibunya. Ternyata Mayoor Verbruggen adalah mantan kekasih ibunya. Alasan Teto memilih menjadi tentara Nica adalah kesumat kepada Jepang yang telah memaksa maminya menjadi gundik. Ia juga berpikir orang-orang yang menentang Belanda adalah pengkhianat—termasuk orang-orang Republik.

Sementara itu, Atik adalah gadis nasionalis yang sangat membenci Belanda. Bahkan, ia bekerja sebagai relawan administrasi di lembaga milik pemerintah Indonesia. Meski begitu, Teto tetap mencintai Atik dan menghormati keluarga Antana.

Setelah Belanda kalah, Teto hengkang dari Indonesia. Ia menjadi ahli komputer dan manajer produksi Pasific Oil Wells Company. Suatu saat, Setadewa kembali ke Indonesia dan tanpa direncanakan ia menghadiri ujian disertasi Atik. Pada acara tersebut, dia tidak menemui Atik. Justru Atik dan suaminya, Janakatamsi, yang mengunjungi Teto di tempat ia menginap. Atik mengajak Teto ke rumahnya untuk bertemu dengan Bu Antana, yang kemudian meminta agar Teto bersedia menjadi kakak bagi Atik.

Suatu kecelakaan merenggut nyawa Atik dan Janakatamsi, suaminya, ketika mereka hendak berangkat beribadah haji. Jadilah ketiga anak mereka yatim piatu. Kemudian Setadewa menganggap ketiga anak Atik dan Jana sebagai anak­anaknya sendiri. Ia pun tak menikah lagi. Baginya, cukup Bu Antana yang menjadi ibu sekaligus nenek bagi ketiga anak itu

Setidaknya ada beberapa faktor non-literer yang membuat karyatama ini memiliki kekuatan tersendiri. Pada 1983, Burung-burung Manyar (BBM) beroleh penghargaan dari South East Asia Write Award. Ia juga telah diterjemahkan ke tiga bahasa: Jepang, Belanda, dan Inggris. Kekuatan lainnya adalah adalah Prawayang yang tidak banyak dimiliki oleh cerita lain. Roman ini pun bisa dianggap sebagai roman sejarah yang melukiskan kondisi bangsa Indonesia pada tiga zaman: penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, dan kemerdekaan.

Cerita pada roman ini berpusat pada Teto, sehingga mayoritas cerita berkitar-kitar pada kehidupan privat Teto dan pergumulan batinnya. Di beberapa bagian Atik memang diceritakan, akan tetapi naratornya bukan orang pertama, melainkan orang ketiga.

Sejak awal cerita, Mangunwijaya langsung mengajak pembaca untuk berdialog. Konflik kejiwaan macam apa yang dialami si tokoh yang menyebut dirinya Aku? Hal itu membentang sepanjang lima belas bab roman ini, dari jumlah keseluruhan dua puluh dua bab. Alur yang dibangun oleh Romo Mangun adalah alur spiral. Ada waktu yang saling berhimpitan antara waktu cerita yang dialami oleh para tokoh yang diceritakan. Pelbagai waktu cerita kemudian bertemu dalam satu waktu cerita yang sama yang dialami oleh tokoh-tokoh protagonis.

Penulis tidak menempatkan Setadewa pada satu sisi saja. Ia tidak melulu menyombongkan dirinya, tetapi ia juga menceritakan sisi buruk dirinya, terlebih ketika ia mengakui bahwa Janakatamsi, suami Atik adalah lelaki yang baik, bahkan lebih darinya. Termasuk juga kegagalan pernikahannya dengan perempuan bernama Barbara, yang lebih memilih berpisah darinya.

Roman ini bisa jadi merupakan biografi kehidupan Setadewa, karena pada akhir cerita, terbubuh titimangsa dan tanda tangan Setadewa. Hal tersebut seakan hendak menandakan bahwa keseluruhan penceritaan dalam roman dilakukan oleh Setadewa.

Di awal cerita, sebelum memasuki bab pertama BBM, kita disuguhi dengan sebuah cerita, Prawayang. Ada keterkaitan antara tokoh-tokoh yang ada dalam Prawayang dengan tokoh-tokoh dalam cerita BBM. Tidak banyak fiksi Indonesia yang mengadopsi dunia pewayangan dalam cerita-ceritanya. Ada kemiripan nama tokoh, tempat, dan jalan cerita antara Prawayang yang disuguhkan oleh Romo Mangun dengan cerita BBM.

Beberapa nama tokoh dalam cerita BBM mirip dengan nama-nama tokoh cerita wayang Mahabharata. Nama Larasati sejajar dengan nama Rarasati atau Larasati dalam cerita wayang Mahabarata. Ayah Larasati dalam BBM bernama Antana, sedang dalam Mahabarata Ayah Rarasati bernama Raden Antagopa.

Begitu pun Setadewa, yang memunyai keselarasan nama dan nasib dengan Baladewa, seorang tokoh dalam pewayangan Mahabharata yang dikenal sebagai tokoh yang tersingkir dari lingkungannya. Baladewa dan Setadewa keduanya adalah tokoh yang berani menanggapi sesuatu dengan spontan.

Keduanya juga memiliki rasa keadilan dan keadilan yang tinggi, dan sama-sama tokoh yang terpelajar dan berani berbeda pendapat. Mereka sama-sama mangkir dari tanah kelahirannya demi orang yang dikasihi: jika Baladewa memihak Kurawa ketimbang Pandawa, Setadewa memihak Belanda ketimbang Indonesia. Baladewa lebih memihak Kurawa karena kecintaannya pada istri dan mertuanya, sedang Setadewa lebih memihak Belanda karena kecintaannya pada maminya.

Janakatamsi memiliki pertalian nama dengan Janaka alias Arjuna dalam dunia pewayangan. Keduanya memiliki sifat yang sama: pendiam, halus, dan cerdas. Yang membedakan keduanya adalah jumlah istri. sementara Arjuna alias Janaka beristri lebih dari satu orang, Janakatamsi hanya beristri satu orang, yaitu Larasati.

Pelukisan krisis eksistensial Aku (Setadewa) bisa dipandang sebagai suatu tawaran wacana bertalian dengan jati diri bangsa Indonesia. Bagi Romo Mangun, tampaknya jati diri tersebut tercermin pada tiga dimensi. Pertama, alam binatang, dalam hal ini diwakili atau disimbolkan oleh burung manyar. Kedua, manusia sebagai tokoh, dalam hal ini Setadewa dan Larasati. Dan ketiga, bangsa Indonesia sebagai bangsa dengan tekanan pada kualitas hidup dan kualitas generasi yang akan datang.

Ada pertalian cerita roman ini dengan kebiasaan yang dilakukan burung manyar, sebagaimana tertulis dalam disertasi Atik yang bertajuk Jati Diri dan Bahasa Citra dalam Struktur Komunikasi Varietas Burung Ploceus Manyar;

Atik menjabarkan kehidupan satwa tersebut dengan detil. Menjelang dewasa, burung manyar jantan berlomba merakit sarang yang paling indah agar dipilih burung manyar betina. Sementara manyar jantan membuat sarang, manyar betina hanya berleha-leha, sambil sesekali memerhatikan si manyar jantan membangun sarang.

Setelah selesai sarang dibangun, manyar betina memilih sarang yang paling mereka sukai, dan manyar jantan yang tidak terpilih sangat kecewa dan membuang begitu saja sarang yang telah dibangunnya dengan susah payah. Akan tetapi, meski tidak terpilih, manyar jantan itu tak patah arang. Dicarinya lagi alang-alang, daun tebu, dan lalu ia rakit lagi sarangnya sembari berharap ini kali ada seekor manyar betina yang terpikat.

Setadewa bisa diibaratkan sebagai manyar jantan yang tidak terpilih. Kesedihan dan kegagalan yang dialami oleh manyar jantan setidaknya juga dialami oleh Setadewa ketika mengetahui bahwa Atik yang selama ini diidamkannya telah menjadi milik orang lain. Sebagaimana burung manyar jantan, ia tidak putus asa. Ia mencoba untuk bangkit lagi. Ia kemudian menjadi kakak angkat bagi Atik dan pada akhirnya merawat anak-anak Atik.

Dalam roman ini pula, Romo Mangun secara tidak langsung melukiskan rentetan peristiwa kesejarahan di Tanah Air. BBM terbagi menjadi tiga periode sejarah Indonesia. Pertama, kurun warsa 1933-1944, rangkaian waktu di mana para pejuang kita kala itu gigih melawan penjajah dan terjadi peralihan kekuasaan dari tangan Belanda ke tangan Jepang—terutama pada masa kependudukan Jepang, di mana banyak perempuan menjadi budak seks serdadu Jepang.

Kedua, warsa 1945-1950, ketika bangsa Indonesia telah merengkuh ‘kemerdekaan’. Dan ketiga, warsa 1968, masa ketika Orde Baru berkuasa. Karena pernah mengalami ketiga zaman itu, sangat wajar jika Romo Mangun begitu piawai menuliskannya.

Dalam roman ini kita juga dapat melihat bagaimana perilaku manusia Indonesia pada setiap kurun waktu. Ada yang membela Jepang, ada yang memilih merdeka seperti halnya yang diinginkan oleh Atik, atau ada juga yang membela Belanda dan menjadi serdadu Nica.

Meski saling mencintai, Setadewa dan Larasati tetap teguh dengan pilihan masing-masing, sembari tetap menghormati pilihan; meski dalam hati kecil mereka, keduanya ingin agar mereka bisa sejalan.

Akan tetapi tokoh utama, baik Atik maupun Teto, keduanya bukanlah tokoh statis, dalam arti lurus-lurus saja dari awal sampai akhir cerita. Berpuluh tahun setelah mereka berpisah, baik Atik maupun Setadewa membuka mata untuk menerima masukan lain.

Setadewa, seorang tokoh yang di awal diceritakan sebagai tokoh yang berandal dan pemberontak, akhirnya bisa menjadi sesosok yang rendah hati dan sangat manusiawi. Setadewa tak menafikan bahwa ia telah keliru menyamakan Indonesia dengan Jepang, dan akhirnya ia mengakui Indonesia sebagai ibu kandungnya. Untuk sampai pada titik itu, ia melewati dinamika psikologis yang pedih dan berat. Inilah yang menjadikannya sebagai tokoh yang digambarkan dengan lengkap, seorang tokoh yang bulat – seorang tokoh yang punya sifar-sifat manusia.

Satu hal yang sangat menyentuh dalam roman ini adalah Setadewa yang sangat menjaga kesetiaan dan cintanya pada Atik. Puluhan tahun perpisahan, dan Atik yang telah menikah, tak membikin ia surut dalam memandang Atik sebagai kekasihnya.

Demikian pun Atik. Ia masih mencintai Setadewa. Suami Atik, Janakatamsi, yang mengungkapkan hal itu kepada Setadewa. Janakatamsi sendiri tidak pernah merasa menikah dengan Atik, meski mereka telah punya tiga orang anak. Konflik-konflik jiwa semacam itu, sampai taraf tertentu, adalah sebuah tragedi. Dan tragedi, kata Brecht, adalah perkakas yang tepat buat mencapai kelegaan tiada tara dalam jiwa penonton (pembaca): katarsis.

——————————————

Saya percaya, cinta itu punya cara sendiri untuk mewujud di dunia ini. Kadang abstrak, kadang paradoksal. Jika Teto dan Atik seumur hidup akan mencintai, kenapa Jana yang menjadi pemenang?

Saya bukan tipe orang yang platonis. Maka saya, anggap Jana adalah pemenang. Bukan Teto. Di bumi cinta adalah realita. dan realitas membutuhkan sesuatu yang bukan hanya soal perasaan melainkan soal logika. Beda dengan dunia perasaan yang butuh cinta dalam dimensi “tragedi”, seperti dongeng abadi Romeo-Juliet atau Roro Mendut-Ponocitro.

Bagi saya, Teto tetap pecundang. Apalagi Romo Mangun dengan gamblang melukiskan hubungan Atik dan Jana yang kekal sampai “maut memisahkan mereka”. Pembaca kebanyakan mungkin akan lebih simpati kepada Teto, karena lebih manusiawi, ada sisi baik, ada sisi buruk. Dan lebih lovable. Demikian pula saya.

Tapi, Jana sesungguhnya adalah ideal bagaimana sebuah pilihan itu berpihak. Ingat idiom ini? Wanita akan jatuh cinta dengan bergelora dengan pria yang sedikit nakal, namun akan berusaha menikah dan mencoba bahagia dengan pria baik-baik.

Orang bilang Romo Mangun adalah pakar dalam mengurai psikologis cinta tokoh-tokohnya, dan saya terpaksa setuju. Satu hal saja yang saya kurang setuju, Romo Mangun adalah tipikal pengarang yang pengecut (atau terlalu baik) untuk berpihak secara jelas dalam hal cinta duniawi, dan itu tampak usaha beliau mematikan Jana dan Atik, dan menjadikan Teto sebagai “hero” yang lalu menjadi bapak asuh ketiga anak Atik. Apakah tidak ada pilihan lain?

Pernah nonton film Reality Bites (1993) yang dibintangi Ethan Hawke, Winona Ryder, dan Ben Stiller? Jika pernah, maka pasti tahu ada kesamaan antar keduanya. Tapi, film ini lebih jelas, karena si wanita, pada akhir cerita memilih si urakan yang penuh masalah namun memesona (Ethan Hawke) daripada si mapan (Ben Stiller) yang selalu santun, dan baik, namun membosankan. Cinta dalam film ini memilih dengan tindakan, sedang dalam novel Burung-burung Manyar, cinta memilih dengan hati. Platonis.

———-

Bagaimana selanjutnya, kisah Cinta Burung-burung Manyar mereka yang nyata itu? Entahlah, biarkan mereka yang menjalankannya dan sampai kapan mengidentikkan diri sebagai Teto, Atik, Jana, bukan juga urusan saya.

14 thoughts on “Cinta Burung-burung Manyar

  1. laras says:

    menurut saya, tokoh-tokoh itu cuman dipakai sebagai simbol. teto dan atik itu simbol dari perjuangan orang indonesia menuju kekemerdekaan. teto itu merasa bila mereka berada ditangan belanda lebih baik, karna indonesia lebih stabil. tapi atik merasa kemerdekaan itu harus diperjuangkan, indonesia jadi tidak dibawah kekuasaan belanda. atik dan teto sebetulnya punya pemikiran sama, mereka mau indonesia itu baik, bangsanya makmur. tapi dua tokoh tersebut mempunyai pendapat dan pilihan yang sangat berbeda. tapi itu cuman menurut saya..

  2. lamanday says:

    Hallo Laras….salam kenal..

    Ya, betul.

    Selain dari aspek psikologis, interpretasi akan pergulatan ideologis tokoh2nya memang begitu agaknya, saat gelora berkebangsaan Indonesia sedang mencari ujudnya.

    Terima kasih sudah mampir dan memberi komentar.

  3. kundhel says:

    intinya dari kacamata ingsun, sehebat apapun yang namanya setadewa. Tetep yo kalah karo bojone atik. Lha atik iki yo ra bhener. Sing jenenge garwo iku lha yo sigaran nyowo. mbuh dulu pacarnya nguantheng kaya raden mas bradpit kalo udah rabi ya harus lilo lan legowo, katresnan lahir trosing bathos.
    Apa gunanya hidup sendiri dengan katarsis dari berbagai fase keberhasilan yang kita terjemahkan sendiri, tapi seperti terpisah oleh kerinduan sebenarnya oleh kaca pualam. Seperti ingsun yang liyer liyer melihat dslr di stand toko.

    Ikhlas berjalan tanpa menoleh ke belakang, berdamai dengan perasaan meskipun artinya harus menawarkan manis cinta. Wah koq ingsun bisa ngomong koyo gini, lha bingung dhewe je, wis ra bener kie. Matur nuwun mas Handhi,

    Pareng rumiyin

    @kundhel:
    Katarsis? Bukannya katarak? 😀
    Ingat lho, soal cinta bukan matematika, istilah menang atau kalah itu relatif dari segi apa kita melihat…Tapi, yah karena kita manusia adalah mahluk tuhan paling seksi, eh salah, paling egois, pernyataan bahwa si pemenang adalah yang berhasil mempersunting yah, mungkin memang demikian adanya… 😀

  4. kundhel says:

    Love is real, real is love.

    @kundhel:

    love is real sih 100 tuju (bukan lagi se-tuju). tapi kalo real is love? apa ya artinya… 😀

  5. kundhel says:

    itulah brur, mungkin sederhana jak narasi yang diperlukan. hal yang membuat asmat dedengkot mapala uajy jadi manis dan seperti mimi lan mintuno ato seperti seorang kawan yang dulu asyik saling beradu pandang dalam gelap dengan lilin di tengah meja belajar ( dimana daku seperti pelengkap yang seharusnya tidak perlu hadir cuma berujar ops sorry ). sederhana lah ga ruwet. bahkan matematika pun memberikan kemurahannya dalam bentuk ” fuzzy logic ” dimana tidak ada ambang nol atau satu dengan semua saling berpaut dan terkait ” real is love biarkan perjalanan kita yang memberikan warnanya sendiri ya hehehehehe. pemenang ialah ” jika kedua nya setiap hari selalu jatuh cinta sederhana seperti 50 first date atau my sassy girl “, jika keduanya menyatu bukan seperti lagu ” kau ada yang memiliki aku ada yang memiliki ”
    tapi seperti lagu Belahan Jiwa ato Mekar di Jiwa nya Mas Katon Bagaskara.

    Intermezzo : dari segenap renik jagat ini mungkin aku yang ditakdirkan mengalami anomali tentang bakat olah vokal mu brur, ayo coba gali sepertinya ada kekuatan sebagai indonesia idoll berikutnya jangan malu malu ya.

    @kundhel:
    Hahaha..kisah cinta di My Sassy Girl atau 50 First Dates bukannya justru tidak sederhana? Melainkan kompleks dan surealis? …Mungkin yang benar, naif brur..Alangkah indah jadi pecinta yang naif kali ya…? 😀

  6. zen says:

    saya pernah punya pacar gara2 novel ini, bro! hehehe…. *OOT, kabuuurrr….*

    @zen:
    Hahaha… I see!

  7. carol says:

    He? Pny pacar gara2 buku ini?? KOk bsia??????????

    @carol:
    tanya aja langsung ma zen..gmn caranya.. 🙂

  8. dede says:

    kmu punya gak novel burung-burung manyar? klo punya kamu belinya di mana? klo skarng novel itu msih ada km bsa gak aku copy??????

    @dede:
    Di toko buku Social Agency Jogja, masih ada kayaknya De..tapi itu dulu waktu aku masih di Jogja, sekarang sih ga tau…

    Btw, ini Dede mana ya..
    hehe…

  9. koming tenan says:

    Saya baca roman ini dulu sekitar tahun 1990.
    Entah harus komentar apa tentang tokoh-tokohnya, yang jelas roman ini bisa menyingkirkan perhatian saya, yang semula pada novel2 silat macam Api di Bukit Menoreh yang sangat panjang dan menyita waktu buat membacanya.
    Satu hal yang sangat menarik bagi saya, entah siapapun juga itu yang dianggap sebagai pemenang, bahwa ternyata CINTA itu tidak bisa dikendalikan secara sempurna. Ada kekuatan tersendiri dari cinta itu untuk menentukan kemana ia akan menuju. Bila sebelumnya saya percaya 100% bahwa cinta itu bisa dibina dan dikendalikan menurut kehendak kita, maka setelah membaca roman ini ada sedikit perubahan. Bahwa ada sisi yang lain dari cinta yang tidak bisa dikendalikan oleh manusia. Romo Mangun tahu secara pasti bahwa hal tersebut bisa terjadi dalam kehidupan nyata, seperti dikisahkan dalam tokoh Atik maupun Teto, bahkan saat setelah mereka berusaha selama puluhan tahun.

    Omong-omong, buku saya dulu di pinjem siapa ya….Balikin donk…

  10. tumpal says:

    Burung-Burung Manyar salah satu Novel yang saya baca ketika pakai celana abu-abu di sekolah. Meskipun sudah bertahun-tahun, masih sangat terasa manisnya segala sesuatu yang disampaikan Oleh YB Mangunwijaya melalui buku itu. Ini bukan sekedar pemuas hati akan pengertian kompleksnya cinta. Tapi sebuah jiwa yang tercipta untuk memberikan pemahaman akan arti hidup.

    Saya acungkan dua jempol bagi almarhum YB Mangunwijaya. Terima kasih untuk penulis ” CINTA BURUNG-BURUNG MANYAR ” ini.

  11. andreas says:

    sisi lain mangunwijaya

    Dari banyak segi dan aneka warna manusia Mangunwijaya, kerjanya dan panggilan hidupnya, barangkali agak kurang tajam disoroti Mangunwijaya dalam ‘Kebermainannya’, Sang Homo Ludens ini. Padahal sejatinya dari ‘kebermainan’ inilah kualitas dan citra kemanusiaan, kemerdekaan dan kesejatian dapat ditelusuri jejaknya.

    Romo Mangun menulis di Kedung Ombo 6 Mei 1990 sebagai berikut :
    “…. kebermainan manusia sangat erat hubungannya dengan spontanitas, autentisitas, aktualisasi dirinya secara asli menjadi manusia yang seutuh mungkin. Oleh karena itu ia menyangkut dunia dan iklim kemerdekaan manusia, pendewasaan dan penemuan sesuatu yang dihayati sebagai sejati. Bermain mengandung aspek kegembiraan, kelegaan, penikmatan yang intensif, bebas dari kekangan atau kedukaan, berporses emansipatorik; dan itu hanya tercapai dalam alam dan suasana kemerdekaan.
    Manusia yang tidak merdeka tidak dapat bermain spontan, lepas, gembira, puas”.

    (dari pengantar Mangunwijaya untuk buku Johan Huizinga Homo Ludens : Fungsi dan Hakekat Permainan Dalam Budaya, LP3ES 1990)

    Mangun melalui Atik dalam novel Burung-burung Manyar mengungkapkan lebih jauh tentang penghayatan jati diri dan dimensi kualitas kemanusiaan ini yang menurut saya berangkat dari kebermainan sang homo ludens ini…

    Silah kunjung
    http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2009/03/burung-burung-manyar-mangunwijaya-dalam.html

  12. yola says:

    akui suka banget roman-roman indonesia salah satu nya ya….. burung2manyar ini….aku juga suka banget sama karakter teto….

  13. aulialibrary says:

    Halo.

    Sejak dulu saya tidak bosan baca tulisan Anda yang satu ini 🙂

    salam,

    Astri

Leave a comment